Dasar dari logika
adalah penalaran, sejak manusia ada di dunia ini, manusia telah
menggunakan akal pikirannya untuk menarik sebuah kesimpulan ataupun
penalaran. Masa Yunani Kuno, logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548
SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul,
dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk
memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah
arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat
itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian
disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik
kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air
adalah jiwa segala sesuatu. Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu,
yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.
Kemudian pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica ,
yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari
proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti
argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan
kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.
Aristoteles, sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna
memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu
baru pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”.
Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon.
Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi
pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika. Theoprastus, memberi
sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya tentang pengertian
yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan.
Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di Iskandariah
menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini
disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru
ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di
dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian,
logika menjadi tujuh bagian.
Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal
mahir dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles
dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya.
Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan
menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.
Karya Aristoteles tentang logika dalam buku Organon dikenal di dunia
Barat selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang
sangat luas dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin.
Penyalinan-penyalinan yang luas itu membukakan masa dunia Barat kembali
akan alam pikiran Grik Tua.
Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk
sajak, seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi
buku dasar bagi pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus
inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk sistem
penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam
sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus Hispanus mengenai logika ini
bernama Summulae.
Francis Bacon (1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap
logika dan menganjurkan penggunaan sistem induksi secara lebih luas.
Serangan Bacon terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari
berbagai kalangan di Barat, kemudian perhatian lebih ditujukan kepada
penggunaan sistem induksi.
Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di
antaranya adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan
penggantian pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum
sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis. Demikian juga Leonard
Euler, seorang ahli matematika dan logika Swiss melakukan pembahasan
tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk
melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan circle-Euler.
John Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan
sistem deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan
induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan
pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi,
kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah, tetapi
sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan metode-metode bagi
sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods.
Logika Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru
dan ulasan-ulasan baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19
mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan Logika-Simbolik.
Pelopor logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz.
Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de
Morgan. Boole secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup
luas dan metode analisis menurut matematika, dan Augustus De Morgan
(1806-1871) merupakan seorang ahli matematika Inggris memberikan
sumbangan besar kepada logika simbolik dengan pemikirannya tentang
relasi dan negasi.
Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha
menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram
lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s
diagram) untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya
penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau
menyisihkan di antara subjek dan predikat yang masing-masing dianggap
sebagai himpunan.
Perkembangan logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20
dengan terbitnya 3 jilid karya tulis dua filsuf besar dari Inggris
Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur William Russell berjudul
Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992 halaman. Karya
tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica memberikan dorongan yang
besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran
pada perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada
pesantren-pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan
mempergunakan buku-buku berbahasa Arab. Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.
Sumber : http://www.eurekapendidikan.com/2014/11/sejarah-perkembangan-logika.html
0 komentar:
Posting Komentar